Motocross

Motocross

Home » Stories » Motocross
Boyo Maladi | 01 January 1970

Di kejuaraan motocross Indonesia belum ada kelas khusus untuk wanita, seperti halnya di luar negeri. Meski demikian, bukan berarti Indonesia tidak mempunyai crosser wanita. Sebut saja nama-nama seperti Sheva Ardiansyah, Suci Mulyani, Novita Anjani, atau Monica Defeter.

“Di kejuaraan grasstrack malah bisa lebih banyak lagi, karena sudah ada kelas khusus wanita,” komentar Agha Riansyah, crosser nasional yang tergabung dalam 76Rider MX Squad.

Karena itu, menurut Agha tidak mudah bagi wanita untuk meniti karier dan profesi sebagai pembalap motocross.

Harus diakui, motocross adalah olahraga ekstrem yang jujur saja, kurang imbang rasanya kalau crosser wanita ini diadu sama crosser pria.

“Beda kalau seumpama kita bandingkan dengan olahraga bela diri seperti tinju atau karate yang juga punya atlet wanita. Yang bertarung kan wanita lawan wanita karena ada kelas atau kejuaraannya. Tapi kan enggak mungkin yang diadu petinju wanita lawan pria. Karena memang enggak imbang,” sebut Agha.

Lalu bagaimana dengan grasstrack yang sudah punya kelas khusus wanita? Menurut Agha sebenarnya juga kurang ideal, karena kelas khusus itu hanya berdasarkan gender saja.

“Jadi pembalap wanita yang masih berumur muda akan bertarung melawan pembalap yang sudah berumur. Enggak cocok juga karena kemampuannya juga enggak seimbang,” sergah Agha.

Dilanjutkannya, idealnya sih penjenjangan kelas khusus wanita itu seperti di motocross yang didasarkan pada usia. Misalnya kelas 50cc, terus naik ke kelas 65cc dan seterusnya.

“Sayang di Indonesia belum ada kelas khusus untuk wanita seperti di luar negeri. Tapi kita lihat saja karena motocross sekarang juga terus berkembang.”

Untuk itu Agha sangat mengapresiasi munculnya crosser wanita di Indonesia seperti nama-nama yang sudah disebutkan sebelumnya.

“Karena menurut saya tidak mudah melatih seorang anak perempuan untuk jadi crosser profesional,” kata Agha.

Kalau pun ada wanita yang ingin memulai karier di dunia motocross, menurut Agha harus dimulai dari usia dini. “Katakanlah usia 6 tahun,” sergahnya.

Itu karena menurut Agha, proses belajar lebih lama karena wanita punya karakter lebih soft, sehingga butuh lebih banyak waktu untuk menanamkan mental fighter atau bertarung. “Wong untuk crosser laki-laki aja sulit, apalagi wanita yang memang sudah kodratnya,” senyum Agha.

Bagaimana kalau dimulai dari usia 5 tahun? Ketika 76Rider menanyakan hal ini, Agha menjawab, “Memang untuk pembalap laki-laki ada yang sudah dilatih sejak usia 5 tahun. Tapi menurut saya kalau untuk pembalap wanita terlalu dini, dan tidak bisa dipaksakan.”

“Lebih baik dikenalkan dulu saja sampai merasa enjoy. Baru setelah tiba-tiba dia yang minta latihan, terus semangat dalam berlatih, kalau jatuh enggak ngalem, itu tanda-tanda dia siap diajak lebih intens lagi dalam berlatih,” ungkap Agha.

Nah kalau mental sudah mulai terbentuk seperti ini, sebaiknya dibarengi dengan program latihan yang baik. “Harus ada target untuk memotivasi si anak perempuan ini, sehingga perkembangannya bisa terpantau dan terukur sesuai target yang ditetapkan. Termasuk kapan dikenalkan dengan kompetisi untuk memulai jam terbang,” tutup Agha sambil berpesan, paling penting si anak harus enjoy agar tidak berhenti di tengah jalan. (BM)



MORE STORIES