Supermoto adalah jenis balap motor yang diadakan di trek balap dengan jenis permukaan trek variatif, mulai tanah yang padat di trek datar, lompatan dan rintangan motocross, serta trek beraspal.
Pertama kali diperkenalkan tahun 1979, awalnya Supermoto digelar sebagai segmen dari acara TV Wide World of Sports yang mempertemukan pembalap terbaik dari tiga genre balap motor yang berbeda.
Mereka ditantang meninggalkan disiplin balap masing-masing, untuk diadu memperebutkan gelar pembalap terbaik.
Jadi ingin tahu nih, ketika diadu di ajang supermoto, lebih hebat mana antara pembalap motocross dan road race?
Tim 76Rider mencoba bertanya ke Gerry Salim, pembalap road race profesional asal Surabaya yang sekarang tergabung di 76Rider SM Squad, dia telah berpengalaman di kejuaraan Asia maupun dunia. Sebut saja Asia Dream Cup (2013), All Japan Championship (2014 - 2015), Asia Talent Cup (2015), Asia Road Racing Championship SuperSport 600cc (2016) dan Asia Road Racing Championship AP 250cc, FIM CEV Moto3 Junior World Championship dan Red Bull Rookies Cup (2018), FIM CEV Moto2 (2019).
Kebetulan saat berlaga di final Trial Game Asphalt 2018 di stadion Kanjuruhan, Malang pada 14-15 Desember 2018, dia sempat melawan 3 pembalap profesional supermoto penyandang jawara kejuaraan nasional di negaranya masing-masing. Mereka adalah Lewis Cornish (Inggris), Germain Vincenot (Prancis), dan juga Jan Deteinbach (Jerman).
Pada ajang tersebut Gerry berhasil mengalahkan tiga pembalap asing di kelas FFA 450 International. Apakah berarti pembalap road race lebih unggul ketimbang pembalap supermoto?
“Enggak juga sih,” buka Gerry. Menurutnya banyak faktor yang menentukan kemenangan seorang pembalap. Justru saat bertarung dengan Lewis Cornish, Germain Vincenot, dan juga Jan Deteinbach, Gerry lebih tertarik mempelajari skill mereka.
“Terutama Germain yang memang punya basic dari motocross, kayaknya. Gerry bisa lihat riding style dia di tikungan. Waktu melibas tikungan, dia pakai teknik turun kaki seperti umumnya pembalap motocross. Dan itu kencang banget, sehingga Gerry agak kesulitan mengikuti,” papar Gerry.
Germain menampilkan teknik yang berbeda dengan teknik Gerry sebagai pembalap dengan basic dari road race.
“Kalau teknik yang Gerry pakai basic-nya masih road race dengan riding style turun dengkul atau knee-down,” jelas Gerry.
Menurut Gerry kedua teknik cornering punya plus-minus masing-masing.
“Di tikungan patah atau stop and go, teknik turun kaki motocross unggul karena bisa dengan cepat masuk-keluar tikungan,” tutur Gerry.
Sebaliknya, di tikungan rolling yang cepat, menurut Gerry, teknik turun dengkul lebih unggul karena bisa dilibas dengan kecepatan tinggi.
“Kebetulan saya sempat ngobrol sama Germain, dia bilang justru enggak bisa knee-down,” kata Gerry.
Meski demikian, menurut Gerry, Germain punya kemampuan lain yang juga sulit diikutinya, yakni dalam hal jumping.
“Dia waktu itu enggak jumping terlalu tinggi, tapi bisa jauh. Ini yang juga jadi keistimewaannya sehingga bisa cepat,” tukas Gerry.
Selain itu faktor layout sirkuit turut menentukan hasil. Layout sirkuit di stadion Kanjuruhan menurut Gerry ada yang berkarakter stop and go, ada juga yang rolling.
“Ini yang membuat persaingan jadi ketat waktu itu. Gerry kencang di tikungan high speed tapi lambat di tikungan stop and go, tapi Germain justru sebaliknya,” kata Gerry.
Alhasil meski bisa menang, tapi Gerry mengaku mereka sama-sama fight. Tidak ada yang tertinggal terlalu jauh. Menurut Gerry, menempel posisi Germain sangat sulit.
“Selain itu ada unsur luck juga sih, karena saat itu Germain ada technical error juga. Kurang 3 lap, footstep lepas sehingga harus puas di posisi kedua,” tutup Gerry.