Setiap pabrikan pasti punya tujuan tertentu dalam mendesain motor sesuai peruntukannya. Dalam konteks motor balap untuk supermoto, ada pertimbangan untuk mengedepankan handling, atau power motor.
Inilah yang membentuk karakter motor seperti dituturkan Tommy Salim, pembalap nasional yang tergabung dalam 76Rider Supermoto Squad
“Setiap motor pasti punya karakter lebih menonjol. Ambil contoh seperti KTM 250SXF yang memiliki power sangat besar sehingga lebih agresif, tapi handling atau pengendalian agak sulit,” buka Tommy yang kebetulan memiliki motor keluaran pabrikan Austria tersebut.
Beda dengan Honda CRF 250R.
“Motor ini memiliki power delivery atau penyaluran tenaga lebih smooth sehingga mudah dikendalikan,” tutur Tommy yang juga mempunyai motor tersebut.
Lantas ketika ditanya, dari kedua karakter motor yang berbeda tersebut lebih baik pilih yang mana? Tommy pun menjawab, “Ini tergantung karakter atau gaya membalap rider masing-masing!”
Lebih lanjut Tommy menjelaskan, tiap pembalap punya karakter atau gaya balap yang tidak sama. Dari sinilah seorang pembalap dituntut untuk mengenali riding style-nya.
“Ada pembalap yang smooth cara bawa motornya, tapi ada juga pembalap yang agresif. Tentunya ini akan bagus jika dipakai acuan untuk memilih motor yang sesuai dengan karakter pembalap tersebut,” jelas Tommy.
Seorang pembalap yang agresif, tentu dia akan merasa cocok mengendarai motor dengan karakter agresif pula, karena setiap keinginannya dapat langsung direspon motor tersebut.
Bisa dibayangkan seorang pembalap yang halus dalam membawa motor, tentu dia akan kurang cocok dengan motor yang terlalu liar pengendaliannya. Begitu juga sebaliknya.
Lantas bagaimana jika tidak terjadi kesesuaian antara pembalap dengan motor yang terlanjur dibeli atau disediakan sponsor, misalnya. Tommy, pun menjawab, “Di sinilah modifikasi perlu dilakukan.”
Lebih dalam Tommy menjelaskan, modifikasi bisa dilakukan dari cara paling sederhana, misal dengan mengubah rasio sprocket, hingga ubahan lebih tinggi. Misalnya ubah knalpot, ganti camshaft, atau ECU (Electronic Control Unit).
“Semakin tinggi stage atau tingkatan modifikasi yang dilakukan tentu butuh biaya lebih banyak,” kata Tommy.
Pasalnya, komponen yang digunakan untuk meng-upgrade performa motor ini adalah produk aftermarket.
“Beda dengan komponen stok (stock) yang biasa dipakai untuk replacement atau penggantian parts yang telah aus atau rusak, komponen aftermarket memang diproduksi melalui riset dan pengembangan di balap, sehingga statusnya competition use only atau hanya direkomendasikan untuk balap,” terang Tommy.
Ini yang membuat harga suku cadang aftermarket jauh lebih mahal, selain bahannya yang menggunakan material khusus ringan tapi kuat.
“Selain itu enggak gampang juga dicari, terutama untuk motor-motor yang tidak umum dipakai di sini. Cara mendapatkannya biasanya secara online dan kadang harus inden agak lama,” papar Tommy.
Ditambah lagi perbandingan harga jauh banget.
“Ambil contoh knalpot Akrapovic yang harganya bisa sampai Rp 25 juta. Tapi hasilnya memang joss, karena mereka juga menyertakan hasil pengujian dyno yang bisa naik 3 hp,” kata Tommy.
Paling penting lagi adalah ECU racing keluaran aftermarket karena peranti elektronik inilah yang berfungsi mengubah karakter motor melalui beberapa bagian.
Misalnya mengatur debit bahan bakar yang disuntikkan ke ruang bakar secara maksimal sesuai kebutuhan.
Kelebihan lain penggunaan ECU racing aftermarket adalah dapat mengatur timing atau waktu pengapian seesuai kebutuhan mesin.
“Juga mengatur limiter rpm mesin sesuai kebutuhan. Dengan ECU racing, kita bisa membuat limiter rpm lebih tinggi dari settingan standar bawaan motor,” kata Tommy sambil kasih info harga ECU ada di kisaran Rp 10 juta untuk merek Vortex.
“Sebaiknya sesuaikan ubahan ini sesuai regulasi balap ya, jadi tidak sia-sia,” pungkas Tommy. (BM)