Shifting atau pergantian gigi persneling harus dilakukan dengan benar, supaya motor bisa melaju optimal, tanpa banyak mengalami power loss atau turunnya tenaga di setiap perpindahan gigi, dan juga hilangnya waktu sepersekian detik.
Ini wajar terjadi, karena setiap kita pindah gigi, pasti kita sedikit menurunkan rpm, tarik tuas kopling, dan oper gigi persneling, sebelum lepas kopling dan buka gas lagi.
Dalam balap, turunnya tenaga dan hilangnya waktu sepersekian detik ini tentu akan sangat berpengaruh.
“Itulah kenapa, motor-motor yang dipakai di road race, apalagi seperti di Moto2 dan Moto3 yang pernah Gerry ikuti kebanyakan sudah dilengkapi quickshifter. Jadi perpindahan gigi bisa dilakukan dengan cepat, tanpa banyak kehilangan putaran mesin dan waktu,” buka Gerry Salim, pembalap kelahiran 19 April 1997 asal Surabaya yang konsisten mengikuti berbagai ajang kejuaraan balap nasional maupun internasional.
Adaptasi harus dilakukan Gerry, ketika kini membalap di kejuaraan supermoto, di bawah bendera 76Rider Super Moto (SM) Squad. “Sebab motor yang Gerry pakai di kelas FFA 450 (Honda CRF450R 2019), belum dilengkapi quickshifter.”
Dari sinilah, rider dituntut benar-benar tajam feeling-nya, supaya tidak banyak alami turun tenaga dan hilang waktu sepersekian detik tadi. “Apalagi dengan kapasitas mesin yang besar, 450cc. Pindah gigi juga harus hati-hati supaya motor tetap terkendali, dan tidak malah liar,” jelas Gerry.
Untuk itu, Gerry mengandalkan feeling yang kuat untuk merasakan rpm yang dirasanya pas untuk naik-turun gigi. “Kalau kelebihan rpm bisa kena limiter (pembatas putaran mesin), sehingga justru kehilangan waktu. Kalau rpm terlalu rendah, tenaga jadi kurang narik saat pindah ke gigi berikutnya. Jadi harus benar-benar pas. Tidak kelebihan dan kekurangan rpm,” ungkap Gerry.
Apalagi selain minus quickshifter, motor Special Engine besutan Gerry ini dari pabriknya tidak dilengkapi takometer atau alat untuk mengukur putaran mesin atau rpm.
“Beda banget dengan motor-motor road race seperti di Moto2 dan Moto3. Selain pakai quickshifter, juga dilengkapi lampu indikator, tanda harus pindah gigi pada putaran mesin yang tepat.”
Untungnya, sebelum membalap di berbagai kejuaraan internasional seperti Asian Dream Cup, All Japan Championship, ARRC, CEV, maupun Moto2, Gerry telah matang lebih dulu di ajang road race menggunakan motor-motor bebek (cub).
“Soal feeling putaran mesin ini, Gerry belajarnya ya dari motor-motor itu, yang juga nggak ada takometernya. Selain itu, Gerry juga gunakan suara knalpot untuk membantu mengetahui apakah putaran mesin sudah pas atau belum untuk oper gigi.”
Balik ke motor pacuannya di kelas FFA 450, yakni Honda CRF450R 2019, Gerry berbagi tips sebisa mungkin menjaga kendali motor, karena powernya yang besar.
“Rpm jangan terlalu tinggi jika akan pindah gigi supaya roda tidak terangkat (ketika naik gigi), atau sliding (ketika turun gigi). Lakukan perpindahan gigi (dari 2 ke 3, misalnya) dengan cepat, dan setelah itu buka gas dengan smooth sampai penuh,” kata Gerry yang hanya pakai gigi 1 untuk start, dan selebihnya tidak dipakai lagi.
Beda lagi jika yang dibesut adalah motor 250cc atau kapasitas mesin lebih kecil lagi seperti di kelas Trail 175cc. “Kalau untuk motor yang tenaganya tidak terlalu besar, shifting justru harus dilakukan pada rpm tinggi, supaya tenaganya keluar,” tutup Gerry sambil berpesan untuk mempelajari karakter motor seperti ini butuh waktu dan banyak latihan. (BM)